PUISI ANANDA FATHIYYAH UTAMI
Syair Kehilangan
Di setiap ceruk tak berupa
Tergenang rasian bersama kayu – kayu penyangga
Terkubur butiran – butiran hitam seumpama harta
Merebak basah sangit jauh hingga muara
Bau berteman terik, lasuh kiranya tak ada menyapa
Tangan telanjangnya tak pernah usai mengais sisa – sisa penghidupan
Air yang lusuh, tangan keriput, mencoba berkenalan
Lalu, angin membisikkan pesan, jangan cemas bersua kematian
Ia diam. Kemudian mendesah
Bawakan padaku kematian!
Namun sudikah kelak ia senantiasa membelikanku makanan
Kegigihanmu, Pak
Semacam berlari dalam cakra. Ujungnya tak pernah jelas nampak
Sedang mimpiku, ia deras merembesi papan kayu peraduan kita
Nyaris ambruk
Izinkan anakmu mencampakkan mimpi, Pak
Jadi kolot, terbuang, lalu lenyap
Angan yang dikutuk jalan nasib, mati sudah
Oh ambruk
Demikianlah memasrahkan nasib sedang menggoda
Padahal ingin kuukir. Tanah, air, udara negeri jiran dalam memoriku
Sialnya, tak ada yang benar – benar paham jalannya
Entah itu Bapak, Umak, atau bahkan aku sendiri
Tuan puan jua tertutup matanya, pergi melengos
Sudahlah, barangkali kawin membujuk nasib terkutuk ini
Sedang mereka berhitung, aku sibuk mengadon mimpi
Lalu menggorengnya di dapur belakang
Angin sekali lagi berbisik
Entah pada hembusan yang ke berapa,
Aku pulang, kemudian tidur untuk mengikhlaskan kehilangan ini.
Pengap.
PUISI ARES FAUJIAN
Seuntai Sayang
Pantai dengan desiran menyela di pohon tua
Pinus dan derai ombak di pesisir menggoda
Sejarah berbalut bahari nan timah
Letup kopi dan histori kini menyapa
Membacamu aku tak lelap
Karna jiwamu kau kopi
Siang bersama malam, getol ketika mentari
Unik, aku candu buaianmu
Hitammu memikat tanda tanya
Aroma pahit namun manis
Legit dengan gelak dan kelakar
Pacu duduk semakin kental
Wajahmu kian bersih kini
Apas, adun, dan adipura
Seronok bangkit dari perapian
Sri Kandi cendekia elok pimpin di depan
Perubahan warna jua kian tersentuh
Picu karya, memicu sumber daya
Menempa kota, membentuk peradaban Ibukota
Kotaku yang sayang
Manggarku yang berjuang
Tak salah jika kuucap puisi
Selamat di Hari Jadi
Manggar, 9 Oktober 2020
PUISI ARES FAUJIAN
Jomblo Hutan
Rinai, basah…
Air menitik dari pelupuk hati
Terkesan sepele tapi ini non fiksi
Nyata mereka, ada karena penantian
.
Tak bergeming, sunyi
Meriah, namun sepi
Belum jodoh tanda pilih-pilih dan pupus
Bisa jua karena tak laku atau putus
.
Banyak kerja jangan sampai tua
Autis minat jangan sampai amnesia
Anugerah Tuhan bukan hanya keberhasilan
Yang digandeng juga merupakan kesuksesan
.
Semakin angker rasa memasuki malam
Malam Minggu bersemayam dalam kelam
Bisikan mata para pemirsa bertanya
Kapan dikau ada pasangannya?
.
Manggar, 3 Oktober 2020.